Memakai teknik stop motion sederhana, video itu merangkai cerita soal
proses produksi, distribusi, konsumsi, dan daur ulang kemasan makanan
dan minuman. Seniman lulusan Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Bandung pada 2001 itu ingin mengingatkan orang,
betapa rantai proses itu begitu panjang, memboroskan energi, dan sisa
limbah dibuang begitu saja setelah dianggap tak dapat diolah lagi. Di
ruang galeri, sampah itu mengucur dari kolase truk, menumpuk di tembok,
lalu berserakan di lantai.
Daur Energi, menurut kurator pameran Chabib Duta Hapsoro,
mewakili gagasan pameran tunggal Prilla yang berjudul "E"-lambang dalam
ilmu fisika untuk energi-yang berlangsung sejak 19 April hingga 11 Mei
2013. "Pameran ini buah kesimpulan Prilla dari proses pencarian dan
kegelisahannya terhadap persoalan pangan," katanya. Masih di ruangan
yang sama, terpampang tulisan besar berukuran kurus: Voluntarily
Dictated. Semua hurufnya hasil rangkaian potongan kertas kemasan makanan
dan minuman. Secara khusus, Prilla hanya mencomot bagian kotak gizi
seperti pada sereal dan susu. Ia ingin menyampaikan ironi di balik
keunggulan gizi olahan pabrik itu, ada bahan pengawet yang menggerus
manfaat kuliner bagi tubuh.
Prilla sengaja memakai kertas-kertas kemasan makanan dan minuman
untuk menguatkan gagasan karyanya, sekaligus mengurangi limbah. Pada
kolase seperti siluet berwarna kelabu, ia membalik kertas kemasan, lalu
digunting dengan teliti. Semuanya dikerjakan langsung di galeri seorang
diri seperti orang yang tengah mengerjakan kerajinan tangan. Akibatnya,
jadwal pembukaan pamerannya jadi molor sepekan walau telah dipersiapkan
selama tiga bulan.
Pindah ke ruangan Galeri B, Prilla masih setia pada medium kertas
untuk melanjutkan fragmen tema karya instalasi khas tapak itu yang
menyesuaikan bentuk ruang pamer. Kali ini, ia memakai sisa kertas hitam
dari karya pada pameran sebelumnya, "De Chloroman". Pada karya berjudul
Larung, artis yang telah berkiprah selama 14 tahun itu seakan membawa
pengunjung tenggelam di lautan. Batas garis permukaan airnya yang
digambar di semua tembok berada 2 meter lebih atau di atas kepala orang
dewasa. Di dalam "lautan" itu, bermacam sampah tersedia, seperti botol
plastik galon air, drum, jeriken, jaring, dan bola. Begitulah ritual
larung sekarang yang bertolak belakang dengan wujud cara berterima kasih
ke Tuhan atas hasil panen pada upacara larung tradisional.
Dalam karya video berjudul O dengan teknik stop motion sederhana
dan masih memakai potongan kertas sebagai obyek cerita, Prilla ingin
menunjukkan proses daur ulang alami yang berputar menjadi siklus.
Kisahnya bisa dimulai dari seorang bocah yang mengencingi biji mangga,
lalu tumbuh menjadi pohon, berbuah, lalu mati. Begitu pun manusia yang
hidup bersama pohon itu. Namun kehidupan bukan berarti selesai, karena
energi hanya berpindah wujud. Ia bisa menjadi pohon dan manusia lagi
dengan bentuk berbeda.
Dalam karya terakhirnya, Prilla justru memberi judul Awal. Ia
seperti enggan memotong tautan fragmen gagasannya dan ingin menjadi
seperti siklus yang terus berputar. Dalam karya itu, ia melapis sekujur
tembok dengan kain putih yang menjadi tempat munculnya bayangan tiga
pohon seperti pisang. Kekayaan alam Indonesia itu, menurut dia, sekarang
terancam oleh perluasan area perumahan dan pabrik. Dengan sorotan
bayangan ke layar, Prilla mengesankan kondisi masa lalu yang mungkin
sulit terulang.
Menurut Chabib, pemakaian kertas oleh Prilla menjadikan karyanya
cenderung unmonumental pada seni patung. Karya monumental seperti pada
patung dibuat untuk tidak lekang oleh waktu. Namun, dengan cara memakai
limbah kemasan kertas, Prilla memperpanjang usia pakai kertas menjadi
barang seni. Olahan Prilla dinilainya menjadi menarik karena
bersinggungan dengan dua jenis karya patung itu. Adapun pengamat seni
rupa Asmujo Jono Irianto mengatakan, pameran Prilla ini lebih dari
sekadar kerajinan tangan. Kelebihannya ada pada narasi dan latar gaya
hidup senimannya.
Prilla, yang gemar memasak menu Eropa, sudah menggeluti masalah
pangan sejak 2007. Ketertarikannya kepada tema pangan itu dimulai lewat
karya video berjudul Bottoms Up pada 2010. Berdurasi sekitar 4 menit,
video yang tokohnya diperankan sendiri itu berkisah tentang mahalnya
segelas air putih. Peminumnya harus membayar dengan banyak uang hingga
melepaskan perhiasan serta kunci mobil. Video itu masuk seleksi Taiwan
Video Art Festival 2010.
Sebelumnya, Prilla, yang menjelajah ke medium video, foto, obyek,
patung, dan instalasi, pernah tertarik menggarap tema soal perempuan.
Dalam pameran tunggal perdananya yang bertajuk "Phiruku" di Pusat
Kebudayaan Prancis di Bandung pada 2003, karyanya menggabungkan patung
instalasi berbahan kertas, permainan cahaya, dan video. Narasi besar
soal tubuh perempuan itu diwakili oleh pengalaman dan kejadian
sehari-hari, seperti saat mengenakan sepatu berhak tinggi. ANWAR SISWADI
Selasa, 04 Juni 2013
Limbah Kertas di Ruang Seni
Tags :
Related : Limbah Kertas di Ruang Seni
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.