Selasa, 04 Juni 2013

Limbah Kertas di Ruang Seni

Memakai teknik stop motion sederhana, video itu merangkai cerita soal proses produksi, distribusi, konsumsi, dan daur ulang kemasan makanan dan minuman. Seniman lulusan Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 2001 itu ingin mengingatkan orang, betapa rantai proses itu begitu panjang, memboroskan energi, dan sisa limbah dibuang begitu saja setelah dianggap tak dapat diolah lagi. Di ruang galeri, sampah itu mengucur dari kolase truk, menumpuk di tembok, lalu berserakan di lantai.


Daur Energi, menurut kurator pameran Chabib Duta Hapsoro, mewakili gagasan pameran tunggal Prilla yang berjudul "E"-lambang dalam ilmu fisika untuk energi-yang berlangsung sejak 19 April hingga 11 Mei 2013. "Pameran ini buah kesimpulan Prilla dari proses pencarian dan kegelisahannya terhadap persoalan pangan," katanya. Masih di ruangan yang sama, terpampang tulisan besar berukuran kurus: Voluntarily Dictated. Semua hurufnya hasil rangkaian potongan kertas kemasan makanan dan minuman. Secara khusus, Prilla hanya mencomot bagian kotak gizi seperti pada sereal dan susu. Ia ingin menyampaikan ironi di balik keunggulan gizi olahan pabrik itu, ada bahan pengawet yang menggerus manfaat kuliner bagi tubuh.



Prilla sengaja memakai kertas-kertas kemasan makanan dan minuman untuk menguatkan gagasan karyanya, sekaligus mengurangi limbah. Pada kolase seperti siluet berwarna kelabu, ia membalik kertas kemasan, lalu digunting dengan teliti. Semuanya dikerjakan langsung di galeri seorang diri seperti orang yang tengah mengerjakan kerajinan tangan. Akibatnya, jadwal pembukaan pamerannya jadi molor sepekan walau telah dipersiapkan selama tiga bulan.


Pindah ke ruangan Galeri B, Prilla masih setia pada medium kertas untuk melanjutkan fragmen tema karya instalasi khas tapak itu yang menyesuaikan bentuk ruang pamer. Kali ini, ia memakai sisa kertas hitam dari karya pada pameran sebelumnya, "De Chloroman". Pada karya berjudul Larung, artis yang telah berkiprah selama 14 tahun itu seakan membawa pengunjung tenggelam di lautan. Batas garis permukaan airnya yang digambar di semua tembok berada 2 meter lebih atau di atas kepala orang dewasa. Di dalam "lautan" itu, bermacam sampah tersedia, seperti botol plastik galon air, drum, jeriken, jaring, dan bola. Begitulah ritual larung sekarang yang bertolak belakang dengan wujud cara berterima kasih ke Tuhan atas hasil panen pada upacara larung tradisional.


Dalam karya video berjudul O dengan teknik stop motion sederhana dan masih memakai potongan kertas sebagai obyek cerita, Prilla ingin menunjukkan proses daur ulang alami yang berputar menjadi siklus. Kisahnya bisa dimulai dari seorang bocah yang mengencingi biji mangga, lalu tumbuh menjadi pohon, berbuah, lalu mati. Begitu pun manusia yang hidup bersama pohon itu. Namun kehidupan bukan berarti selesai, karena energi hanya berpindah wujud. Ia bisa menjadi pohon dan manusia lagi dengan bentuk berbeda.


Dalam karya terakhirnya, Prilla justru memberi judul Awal. Ia seperti enggan memotong tautan fragmen gagasannya dan ingin menjadi seperti siklus yang terus berputar. Dalam karya itu, ia melapis sekujur tembok dengan kain putih yang menjadi tempat munculnya bayangan tiga pohon seperti pisang. Kekayaan alam Indonesia itu, menurut dia, sekarang terancam oleh perluasan area perumahan dan pabrik. Dengan sorotan bayangan ke layar, Prilla mengesankan kondisi masa lalu yang mungkin sulit terulang.


Menurut Chabib, pemakaian kertas oleh Prilla menjadikan karyanya cenderung unmonumental pada seni patung. Karya monumental seperti pada patung dibuat untuk tidak lekang oleh waktu. Namun, dengan cara memakai limbah kemasan kertas, Prilla memperpanjang usia pakai kertas menjadi barang seni. Olahan Prilla dinilainya menjadi menarik karena bersinggungan dengan dua jenis karya patung itu. Adapun pengamat seni rupa Asmujo Jono Irianto mengatakan, pameran Prilla ini lebih dari sekadar kerajinan tangan. Kelebihannya ada pada narasi dan latar gaya hidup senimannya.


Prilla, yang gemar memasak menu Eropa, sudah menggeluti masalah pangan sejak 2007. Ketertarikannya kepada tema pangan itu dimulai lewat karya video berjudul Bottoms Up pada 2010. Berdurasi sekitar 4 menit, video yang tokohnya diperankan sendiri itu berkisah tentang mahalnya segelas air putih. Peminumnya harus membayar dengan banyak uang hingga melepaskan perhiasan serta kunci mobil. Video itu masuk seleksi Taiwan Video Art Festival 2010.


Sebelumnya, Prilla, yang menjelajah ke medium video, foto, obyek, patung, dan instalasi, pernah tertarik menggarap tema soal perempuan. Dalam pameran tunggal perdananya yang bertajuk "Phiruku" di Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung pada 2003, karyanya menggabungkan patung instalasi berbahan kertas, permainan cahaya, dan video. Narasi besar soal tubuh perempuan itu diwakili oleh pengalaman dan kejadian sehari-hari, seperti saat mengenakan sepatu berhak tinggi. ANWAR SISWADI

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Limbah Kertas di Ruang Seni

0 komentar:

Posting Komentar


-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.